Rabu, 23 Mei 2012

Ana Pikoana Sudharmadi part 1



D
i sebuah desa yang  terletak cukup jauh dari pusat kota, terlihat hamparan sawah yang luas dan hijau terbentang dan jalan setapak yang sebagian besar masih berupa  tanah. Bila jalan setapak itu di telusuri, di ujungnya terdapat sungai yang masih bersih, berbeda jauh dengan sungai-sungai yang terdapat di kota Jakarta. Sungai itu mengalir cukup deras, tidak ada sampah dan tidak berbau busuk, banyak Ibu-Ibu yang mencuci baju serta Anak-Anak yang sedang asik mandi sambil bermain air, ada pula beberapa orang  bapak-bapak yang sedang duduk memancing di sungai itu, sungguh pemandangan yang berbeda dari pemandangan yang biasa di lihat gadis kecil bernama Ana Pikoana Sudarmadi. Ana baru saja tiba di desa Cinangka ini, Ana benar-benar senang bila sudah tiba di rumah nenek. Ana langsung minta di temani Ayahnya pergi ke sungai untuk main air. Udara dan air terasa sejuk dan segar, burung-burung sIbuk beterbangan, beberapa pohon bambu yang berdiri kokoh mengelilingi desa itu, pohon-pohon bambu itu bagaikan tembok alami yang terdapat di desa itu. Bila malam tiba  desa itu terlihat sepi, menjelang magrib saja orang-orang sudah masuk rumah dan menutup pintu, bukan karena ada hantu atau sebagainya. Udara di desa ini pada malam hari memang cukup dingin, banyak serangga malam dan masih banyak kebun yang menyebabkan jarak antara rumah satu dengan rumah yang lainnya agak berjauhan, tidak saling menempel atau bertingkat seperti di kota-kota besar.

                “Ana, tidur sana! Kamu itu besok harus sekolah”, Ibu menyuruh Ana tidur lebih cepat dengan lembut.

                “ah, Mamah Ana ga mau sekolah, nanti Gurunya galak”, Ana mengeluh.

                “kalo kamu ngga nakal, Gurunya juga ngga akan galak Ana”

                “tapikan …”

                “ayo tidur, Mamah temenin”

                “Mamah”, Ana terdunduk lemas. Ayah hanya tersenyum melihat Ana.


J J J


Keesokan harinya Ana masuk ke sekolah dengan terPaksa, langkahnya sangat berat, ia selalu membayangkan wajah Guru yang seram dan siap untuk menjewer telinganya. Ana suka mendengar cerita sepupunya yang mengatakan bahwa Guru itu suka marah-marah dan suka memberi hukuman bila kita tidak menurutinya. Kita semua tahu, hukuman seperti apa yang akan di berikan oleh Guru, dan Anak-Anak seperti apa yang akan diberikan hukuman, tentu saja tidak semua murid, hanya murid yang nakal dan malas, tetapi kepala Ana berpikir beda, ia membayangkan Guru itu seperti nenek sihir yang akan menyihirnya menjadi kodok apabila ia tidak menuruti Gurunya, seorang Guru juga bahkan dapat menelan hidup-hidup muridnya atau seorang Guru yang memiliki tahi lalat atau tompel di atas mulutnya yang setiap hari selalu marah-marah dan membentak-bentak muridnya. Hal yang di bayangkan Ana itu terlalu berlebihan, ya walaupun kemungkinan yang ketiga sedikit benar tapi Ana tidak akan menemukan Guru seperti itu di tingkat Sekolah Dasar, mungkin nanti di tingkat Sekolah Menengah Pertamanya atau di tingkat selanjutnya. SIbuk membayangkan sosok seorang Guru, Ana tidak sadar ia telah sampai di kelasnya. Ia melihat seorang baPak-baPak yang berseragam hijau berperawakan tinggi, agak sedikit gemuk,  kulitnya terlihat sedikit putih dan tentu saja tidak memiliki tompel dan bukan seorang nenek sihir karena ia seorang laki-laki. Ia tersenyum ramah melihat Ana. Ana tidak membalas senyumnya tapi ia bersembunyi di balik tubuh Ibunya.

                “Ana, sini sayang”, Ibu menarik lengan Ana.

                “…”, Ana hanya tertunduk lemas.

                “lihat Mamah! Kamu ngga boleh nakal ya, kamu harus dengerin apa kata Pak Guru”

                “tapi mah …”

                “yaudah, Pak Guru saya titip Ana ya”, Mamah tersenyum pada Pak Suyono. Ibu tidak bisa menemani hari pertama Ana sekolah karena hari itu Ibu harus membereskan rumah dan barang-barang mereka, karena mereka baru saja tiba kemarin pagi dan kemarin Ibu belum sempat memberreskan semua barang-barang karena harus menGurusi Ana yang akan masuk sekolah.

                “ia bu, ayo Ana”, Pak Suyono membalas senyum Ibu dan mengajak Ana untuk masuk kedalam kelas. Di kelas, Ana duduk sebangku dengan Arina. Arina lebih tua dari Ana satu tahun. Tubuhnya lebih tinggi dan kelihatannya Arina lebih tegar dan ceria bila dibandingkan dengan Ana.

                “aku Arina”, Arina memperkenalkan diri. Ana hanya terdiam dan menatap Arina.

                “nama kamu teh siapa?”, Tanya Arina.

                “Ana”, jawab Ana singkat, Ana membendung air matanya. Ia hanya tertunduk, ia benar-benar takut. Ia ingin pulang.

                “kamu kenapa?”, Arina kembali bertanya. Ia merasa ada yang aneh dengan Ana.

                “Ana, mau pulang”, suara Ana terdengar lirih. Ia menutup matanya dan tanpa sengaja air matanya berjatuhan. Ia tertunduk dan terus menangis.

                “aduh, Ana kamu teh kenapa? Sakit?”, Arina terlihat panik. Ia mungkin terlihat lebih tegar dari Ana tapi ia tetap saja gadis kecil yang berusia 7 tahun dan ia tidak tahu harus berbuat apa melihat teman sebangkunya tiba-tiba menangis tersedu-sedu.

                “Pak Guru!”, Arina berteriak.

                “kenapa Arina?”, Pak Guru menjawab.

                “Pak Guru, ieu  Ana teh nangis, saya ga tau kenapa, saya teh tadi cuma nanya namanya siapa”, jelas Arina panik.

                “ia Arina, Ana kamu kenapa?”, Tanya Pak Guru. Ana hanya terdiam dia takut pada Pak Guru.

                “Ana kenapa Pak?”, Tanya seseorang Anak laki-laki yang berkulit sawo matang dan berambut keriting, yang tiba-tiba ada di samping Pak Guru.

                “kamu siapa?”, Pak Guru balik bertanya.

                “oh, maaf Pak saya masuk ngga permisi, saya teh Asep, sepupunya Ana, saya kelas 5 Pak”, terang Asep dengan logat sunda yang cukup kental.

                “oh, terus kamu kenapa ada di sini?”, Pak Guru kembali bertanya.

                “saya teh dari tadi ngintip dari jendela Pak, saya dititipin Ana sama Ibunya, saya disuruh jagain Ana sampai bel masuk Pak”, Jelas Asep.

                “oh, iaia”, Pak Guru mengangguk tanda mengerti.

                “Ana, kamu teh kenapa? Ieu a’Asep Ana”, Asep membujuk Ana yang dari tadi melipat kedua tangannya di atas meja dan menundukan kepalanya di atas tangannya. Ia menangis tersedu-sedu.

                “a’Asep”, Ana mengangkat kepalanya yang dari tadi menunduk.

                “ia Ana …”, belum selesai Asep bertanya, Ana memotong.

                “a’Asep anterin Ana pulang, Ana mau pulang, Ana ngga mau sekolah”, Ana terus merengek minta pulang pada Asep. Asep hanya terdiam dan memandang Pak Guru. Matanya seolah bertanya, apa yang harus ia lakukan. APakah ia harus mengikuti keinginan Ana atau ia harus membujuk Ana untuk tetap tinggal di sekolah.

                “yaudah, Asep kamu anterin Ana pulang ya”, suara Pak Guru menjawab pertanyaan mata Asep.

                “tapi Pak, bel masuk lima menit lagi nanti saya …”

                “kamu tenang aja Asep, nanti saya yang minta izin untuk kamu, nanti saya yang bicara sama wali kelas kamu, wali kelas kamu Pak Tono kan?”, Pak Guru memotong suara Asep.

                “ia Pak, nuhunnya Pak terima kasih”, Asep tersenyum.

                “sama aja Asep”, Pak Guru tersenyum.

                “hayu atuh Pak, saya pamit”, pamit Asep.

                “Ana cepet ambil tas kamu, katanya mau pulang”

                “wasalamualaikum, Pak”, Asep mencium tangan Pak Guru, diikuti oleh Ana.

                “walaikumsalam, hati-hati di jalannya”, teriak Pak Guru.



J J J


                Sesampainya di rumah, Asep hanya melihat Ayah Ana, Asep tidak melihat Ibunya Ana. Mungkin Ibu sedang mencuci baju di sungai atau sedang mandi di dalam. Ya entahlah karena yang terlihat pada saat itu hanya Ayah Ana. Itu yang ada di pikiran Asep.

                “assalamualaikum”, teriak Asep.

                “walaikumsalam, loh? Kok Ana sama Asep udah pulang?”, Tanya Ayah Ana heran.

                “mang Darma, tadi teh di sekolah Ana nangis minta pulang, terus kata Pak Gurunya teh yaudah ngga apa-apa pulang aja dari pada nangis”, terang Asep pada Ayah Ana.

                “masa sih? Ana nangis?”, Ayah menggendong Ana.

                “yaudah mang, Asep mau balik lagi ya ke sekolah, wasalamualaikum”, Asep berteriak sambil berlari, ia tergesa-gesa karena ia takut ketinggalan pelajaran.

                “loh? loh? Walaikumsalam, makasih ya sep”, Ayah Ana berteriak. Entah Asep mendengar atau tidak karena sosoknya sudah mulai tak terlihat. Ia berlari cepat sekali.

                “Ana, kita main aja yuk!”, ajak Ayah kepada Ana.

                “main apa pah?”, Tanya Ana polos.

                “emhh, apa ya, liat aja nanti, yuk!”, Ayah menarik tangan Ana. Ana hanya menurut, ia lega sekali karena telah terbebas dari sekolah dan Pak Guru untuk hari ini.


J J J

            Ana dan Ayahnya sampai di sebuah tempat yang luas dan hijau, sepertinya Ana tau ini tempat apa. Sawah, ya sawah yang sepertinya baru di Tanami bibit oleh pemiliknya.

            “papa kita mau ngapain di sawah? Emang papa bisa nanem padi?”, Tanya Ana polos.

            “haha emang siapa yang mau nanem padi”, Ayah tertawa. Ana hanya terdiam heran sambil melihat Ayah.

            “nih, liat papa bawa apa?”, Ayah memperlihatkan sebuah layangan pada Ana.

            “layangan?”, Ana berpikir

            “ia layangan”, Ayah menegaskan.

            “oh, yee kita main layangan di sini ya pa, asik haha”, Ana tertawa senang sekali. Ayah hanya tersenyum dan ia mulai menaikan layangan. Mereka benar-benar bermain layangan di sebuah sawah. Ana baru pertama kali bermain di sawah, ia merasa senang sekali, belum lagi sekarang ia tidak harus duduk di sekolah. Angin bertiup kencang, layangan terbang semakin tinggi. Ana dan Ayah sangat menikmati angin yang berhembus di tengah-tengah sawah. Layangan terbang semakin tinggi, haripun semakin senja. Ayah menurunkan layangannya. Ana dan Ayah pulang dengan hati gembira, setelah pulang kerumah mereka pergi mandi, setelah mandi Ana langsung tertidur lelap. Ia lelah bermain seharian.

             Sedangkan di sisi lain rumah, Uwa Narto, kakak dari Ibu Ana sedang marah-marah. Ia marah karena sawahnya yang baru saja di tanami padi berantakan, ada orang yang menginjak-injak sawahnya, ia geram sekali.

            “saha si nu ngarusak sawah, ih lamun katangkeup ek di piteskeun”, geram Uwa Narto.
Ibu kasihan melihat Uwa Narto. Mendengar kata sawah Ibu teringat sesuatu.

            “oia, tadikan papa sama Ana main di sawah, mungkin ajakan mereka ngeliat orang yang ngerusakin sawah a’Narto”, pikir Ibu. Ibu segera pergi ke kamar dan bertanya pada Ayah.

            “papa, papa tadi siang main di sawahkan sama Ana sampe sore?”, Tanya Ibu.

            “ia, kenapa?”

            “sawahnya a’Narto ada yang ngerusak, papa liat ngga orangnya waktu lagi di sawah?”

            “ya ampun, kasian banget mah, emang sawahnya yang sebelah mana?”

            “itu loh yang deket kebun pisang, yang deket sungai”

            “hah?”

            “kenapa pah? Papa tau orangnya?”

            “tau mah”, jawab papa lemas.

            “siapa pa? biar Mamah kasih tau Uwa Narto, biar di omelin tuh orang”, Mamah semangat.

            “tadikan papa main layangan di sawah yang deket kebun pisang itu, terus papa sama Anakan lagi asik main layangan, ya kita udah ngga liat lagi apa yang kita injek, terus papa juga ngga tau kalo itu sawahnya a’Narto, jangan kasih atau a’Narto ya mah”, jawab papa lemas.

            “hah? Ya ampun papa, udah si Ana ga mau sekolah, sama papanya malah di ajak nginjek-injek sawah orang”, Ibu pusing. Itu merupakan pengalaman Ana yang luar biasa, di hari pertamanya bersekolah ia telah mampu membuat beberapa orang pusing sekaligus.

            Ke esokkan harinya dan hari-hari selanjutnya Ana telah terbiasa dengan sekolahnya, ia merasa mulai nyaman dan tidak takut lagi, nenek sihir yang ada dalam benaknya lama-kelamaan memudar seiring dengan banyaknya teman yang ia dapat di sekolah. Ternyata sekolah tidak selamanya belajar dan tidak selalu bermain. Setidaknya di sekolah ini Ana mendapatkan banyak orang-orang baru dengan cara bicara dan pribadi yang cukup berbeda dengan teman-temannya yang ada di kota, Ana mulai belajar berbahasa sunda dan ia mulai mengerti bila orang berbicara dengan bahasa sunda walaupun ia belum bisa berbicara dengan bahasa sunda, ya setidaknya Ana sudah mengerti dan dapat berkomunikasi dengan baik.
            Hari itu kelas Ana terlihat sepi, Anak-Anak kelas satu yang biasanya heboh dan selalu berlari-larian kesana-kemaripun terlihat duduk dengan rapi di bangkunya masing-masing. Apa yang terjadi? Yang terjadi adalah hari itu mereka semua sedang menghadapi ulangan harian mereka yang pertama. Ana duduk di bangku ketiga yang terletak di samping jendela, di sampingnya terlihat Arina yang sedang kebingungan menjawab soal, sementara Ana sepertinya lancar-lancar saja. Di meja sebelah Arina dan Ana duduk, ada seorang Ana laki-laki yang sedang asik mengerjakan soal sambil memegangi sapu tangan dan sesekali ia mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan menggunakan sapu tangan yang ada di tangan kirinya. Sesekali Ana menoleh kearahnya karena ia merasa terganggu dengan suara ingus yang ia keluarkan dari hidungnya.
            “srooot, sroot”, Anak laki-laki itu mengeluarkan ingusnya. Ana menoleh ke arahnya dan beberapa Anak ada juga yang menoleh dan kemudian mengerjakan soal lagi. Ana terus memperhatikan Anak laki-laki itu, Ana heran dan ia baru sadar Anak laki-laki itu setiap hari selalu membawa sapu tangan unuk ingusnya. Ketika Ana sedang asik memperhatikannya, Anak laki-laki itu menoleh kearahnya dan tersenyum dengan ingusnya yang meler, Ana kaget ia pun membalas senyumnya dengan aneh, kemudian saat Ana sedang tersenyum aneh, Anak laki-laki itu tanpa sadar mengelap ingusnya ke  samping dengan menggunakan tangannya sendiri sehingga ingusnya menyebar sampai ke pipinya. Ana langsung terdiam dan kembali mengerjakan soal-soal. Di bangku depan baris ketiga dari jendela terlihat dua Anak kembar yang saling mencontek dan berdiskusi.

            “galang! galuh!”, tegur Pak Guru kepada kedua Anak itu. Kedua Anak itupun langsung terdiam dan kembali mengerkajakan soal. Ketika Pak Guru sedang memperhatikan kedua Anak itu, Arina mencoba mencuri kesempatan. Ia melirik lembar jawaban Ana. Ia mencoba mencontek Ana. Ana yang sedang di contek kemudian sadar dan berteriak.

            “Pak Guru! Arina nyontek tuh”, teriak Ana pada Pak Guru. Dengan spontan seluruh mata yang ada di ruangan itu tertuju pada Ana. Mereka semua melihat Ana dengan tatapan aneh.

            “Arina kamu tidak boleh nyontek ya”, Pak Guru menengahi semua tatapan mata itu. Mendengar  kata-kata yang di ucapkan Pak Guru, tatapan mata-mata itu malah bertambah aneh dan Ana berpikir, memang ada yang salah ya dengan dirinya, sepertinya ia baik-baik saja, ia tidak mencontek malah ia yang di contek dan menurut Ana yang harus di perhatikan adalah Arina, Ana juga tidak ingusan seperti Anak laki-laki yang ada di sebelahnya. Melihat tatapan itu Ana hanya terdiam. Tiba-tiba dari samping Arina berbisik.

            “Ana nyontek teh apa? Makanan ya?”, Tanya Arina polos. Ana hanya menoleh dan tak menjawab.

            “astaga, ternyata tadi yang ngerti bahasa gua Cuma Pak Guru doang, pantesan aja, hemhh..”, Ana mengumpat dalam hati dan wajahnya berubah menjadi asam. Sementara Arina yang menunggu jawaban Ana hanya menatap Ana dengan penuh tanya.


J J J


            “teeeeeet teeeeeeeet”, bel pulang berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Ada yang berlari-lari, ada yang kejar-kejaran, ada yang sedang asik mengobrol dan ada pula yang sedang sibuk jajan. Di depan pintu kelas satu, terlihat Anak perempuan yang bertubuh kecil berjalan lesu. Ia berpikir ‘nyontek’, masa nyontek aja ngga ngerti sih. Ia berpikir lagi, jangan-jangan nyontek ada bahasa sundanya, tapi apa yaa bahasa sundanya nyontek, ia terus berpikir, oia tanya bibi aja, bibi pasti bibi tau. Anak perempuan itu kemudian bergegas pulang sambil berpikir  mengenai kata ‘nyontek’.

            “Anaaa…”, teriak seorang Anak laki-laki dari belakang. Ana menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.

            “Ana, kamu teh kalo jalan jangan buru-buru atuh”, Anak laki-laki itu mengatur nafasnya setelah berlari. Ana hanya memperhatikannya dan tidak mengeluarkan sepatah katapun.

            “oia lupa, Viki”, Anak laki-laki itu tersenyum dan menjulurkan tangannya.

            “Ana, kenapa?”, Ana membalas juluran tangan Viki dan menjabatnya.

            “emhh ngga, kamu ngga di jemput?”, Tanya Viki sambil mengelap ingusnya. Viki adalah Anak laki-laki yang di perhatikan Ana tadi di kelas, yang setiap hari selalu membawa sapu tangan untuk ingusnya.

            “ngga”, Ana menggelengkan kepala.

            “sama dong, aku juga ngga, kamu teh rumahnya di sebelah mana?”

            “di deket masjid, terus masuk gang, lurus, belok kanan,lurus, nanti ada gang lagi belok kiri, terus lurus lagi, rumah Ana di ujung, kalo mau ke sungai pasti lewat rumah Ana”, Ana menjelaskan panjang lebar .

            “oh, kalo rumah aku di depan masjid”

            “oh, deket dong, yaudah pulang yuk!”, ajak Ana. Ia ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan bibinya untuk membahas mengenai kata ‘nyontek’. Ana kemudian berjalan dengan cepat. Viki yang tertinggal di belakang segera menyusul Ana.

            “Ana, kamu teh kenapa sih?”

            “hah? Ngga apa-apa”

            “tapi kamu kok jalannya buru-buru pisan sih, sambil bengong kitu”

            “oh, ngga lagi mikir aja”

            “mikir naon?”, Viki penasaran.

            “bahasa sundanya nyontek, apa yaa?”

            “nurun”, jawab Viki singkat

            “hah? Turun kemana?”, Ana bingung.

            “siapa nu ngomong turun, tadi teh kamu nanya apa bahasa sundana nyontek, bahasa sundana ‘nyontek’ teh ‘nurun’ Ana”, jelas Viki.

            “nurun? Ohh nurun itu nyontek?”

            “ia”, jawab viki singkat.

            “sebentar kok viki tau? Berarti tadi viki ngerti waktu ana teriak di kelas?”, Tanya ana penasaraan.

            “ngerti”

            “kalo temen-temen yang lain ngerti ngga?”

            “ngga tau”

            “oia, kenapa waktu ana teriak nyontek, si arina malah Tanya, nyontek apa? Makanan ya? Gitu vik”, ana mengadu.

            “oh, mungkin si arina mikirnya teh nyontek itu ‘lotek’ ana”

            “lotek? Apaan tuh?”, Tanya ana merasa asing dengan kata itu.

            “lotek itu makanan, emhh kalo di Jakarta itu apa ya, emhh oia gado-gado”, jelas viki. Viki tahu ana itu anak pindahan dari Jakarta, ana baru pindah ke sini beberapa bulan yang lalu. Viki tau ana pindahan dari Jakarta karena terlihat dari cara bicaranya yang tidak berlogat dan kaku dalam berbahasa sunda. Kadang ana lebih suka diam.
            “hah?”, ana kaget. Ia membayangkan dirinya di kelas berteriak ‘pak arina gado-gado tuh’. Astaga pasti aneh sekali, pantas saja teman-temannya menatapnya dengan tatapan aneh penuh Tanya dan arina tidak merasa bersalah atau malu sama sekali setelah ana berteriak nyontek, karena di mata teman-temannya arina tidak salah dan yang salah adalah ana yang menyebut arina nyontek = lotek = gado-gado. Astaga, ana merasa malu dan bodoh sekali.

            “hei, ana”, viki berjalan mundur di depan ana dengan kedua tangan di belakang kepalanya.

            “hah? Eh viki, awas!”, ana berteriak.

            “bruuuuk!”, viki terjatuh.

            “aww”, viki merintih. Kakinya menginjak batu kerikil yang cukup besar sehingga ia tergelincir.

            “viki sih jalannya mundur-mundur”, omel ana sambil membantu viki bangun dengan menarik tangannnya.

            “kamu sih teriaknya telat”, sindir viki sambil menepuk-nepuk celananya untuk membersihkan tanah yang menempel,  kemudian tersenyum kepada ana.

            “loh? Haha”

            “haha”, mereka tertawa bersama.
            “ana itu rumah aku, aku pulang duluan ya”, viki menujuk sebuah rumah di depan masjid, kemudian ia berlari dan melambaikan tangan ke arah ana. Ana
membalas lambaian tangan viki dan tersenyum. Dari masjid ana berjalan sendirian. Ia berajalan sambil menendang-nendang kerikil-kerikil kecil yang ada di sekitarnya. Ketika ana sedang menendang-nendang kerikil, ada dua orang anak kembar yang jalan melewati ana, salah satu diantara mereka tersenyum aneh ketika melihat ana, kemudian ia tertawa. Ia terlihat seperti sedang membicarakan ana. Kemudian si kembar yang dari tadi melihat ke depan menoleh ke arah ana, ia tersenyum sebentar dan kembali melihat ke depan. Ana hanya diam saja, ia bingung anak itu mentertawakan apa, apa ada yang salah dengan pakaiannya atau ingusnya meler, tapi tidak, lalu anak kembar itu mentertawakan apa, ana bingung. Salah satu dari si kembar itu terus tertawa-tawa kecil bila melihat ana. Ana makin kesal, oia dia teringat sesuatu, kedua anak kembar itukan teman sekelasnya yang tadi di tegur pak guru karena nyontek.

            “huh, dasar anak nakal yang kurang kerjaan”, umpat ana dalam hati. Ketika ana sedang asik mengumpat, ke dua anak kembar itu masuk ke sebuah rumah di depan gang rumahnya ana.

            “oh di situ rumahnya, nanti Tanya bibi ah, si kembar jelek itu siapa”, ana kesal. Ana melanjutkan langkahnya.

J J J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar