D
|
i sebuah desa yang terletak cukup jauh dari pusat kota,
terlihat hamparan sawah yang luas dan hijau terbentang dan jalan setapak yang
sebagian besar masih berupa tanah. Bila jalan setapak itu di
telusuri, di ujungnya terdapat sungai yang masih bersih, berbeda jauh dengan
sungai-sungai yang terdapat di kota Jakarta. Sungai itu mengalir cukup deras,
tidak ada sampah dan tidak berbau busuk, banyak Ibu-Ibu yang mencuci baju serta
Anak-Anak yang sedang asik mandi sambil bermain air, ada pula beberapa orang bapak-bapak
yang sedang duduk memancing di sungai itu, sungguh pemandangan yang berbeda
dari pemandangan yang biasa di lihat gadis kecil bernama Ana Pikoana Sudarmadi.
Ana baru saja tiba di desa Cinangka ini, Ana benar-benar senang bila sudah tiba
di rumah nenek. Ana langsung minta di temani Ayahnya pergi ke sungai untuk main
air. Udara dan air terasa sejuk dan segar, burung-burung sIbuk beterbangan,
beberapa pohon bambu yang berdiri kokoh mengelilingi desa itu, pohon-pohon
bambu itu bagaikan tembok alami yang terdapat di desa itu. Bila malam
tiba desa itu terlihat sepi, menjelang magrib saja orang-orang sudah
masuk rumah dan menutup pintu, bukan karena ada hantu atau sebagainya. Udara di
desa ini pada malam hari memang cukup dingin, banyak serangga malam dan masih
banyak kebun yang menyebabkan jarak antara rumah satu dengan rumah yang lainnya
agak berjauhan, tidak saling menempel atau bertingkat seperti di kota-kota besar.
“Ana,
tidur sana! Kamu itu besok harus sekolah”, Ibu menyuruh Ana tidur lebih cepat
dengan lembut.
“ah,
Mamah Ana ga mau sekolah, nanti Gurunya galak”, Ana mengeluh.
“kalo
kamu ngga nakal, Gurunya juga ngga akan galak Ana”
“tapikan
…”
“ayo
tidur, Mamah temenin”
“Mamah”,
Ana terdunduk lemas. Ayah hanya tersenyum melihat Ana.
J J J
Keesokan harinya Ana masuk
ke sekolah dengan terPaksa, langkahnya sangat berat, ia selalu membayangkan
wajah Guru yang seram dan siap untuk menjewer telinganya. Ana suka mendengar
cerita sepupunya yang mengatakan bahwa Guru itu suka marah-marah dan suka memberi
hukuman bila kita tidak menurutinya. Kita semua tahu, hukuman seperti apa yang
akan di berikan oleh Guru, dan Anak-Anak seperti apa yang akan diberikan
hukuman, tentu saja tidak semua murid, hanya murid yang nakal dan malas, tetapi
kepala Ana berpikir beda, ia membayangkan Guru itu seperti nenek sihir yang
akan menyihirnya menjadi kodok apabila ia tidak menuruti Gurunya, seorang Guru
juga bahkan dapat menelan hidup-hidup muridnya atau seorang Guru yang memiliki
tahi lalat atau tompel di atas mulutnya yang setiap hari selalu marah-marah dan
membentak-bentak muridnya. Hal yang di bayangkan Ana itu terlalu berlebihan, ya
walaupun kemungkinan yang ketiga sedikit benar tapi Ana tidak akan menemukan
Guru seperti itu di tingkat Sekolah Dasar, mungkin nanti di tingkat Sekolah
Menengah Pertamanya atau di tingkat selanjutnya. SIbuk membayangkan sosok
seorang Guru, Ana tidak sadar ia telah sampai di kelasnya. Ia melihat seorang
baPak-baPak yang berseragam hijau berperawakan tinggi, agak sedikit gemuk, kulitnya
terlihat sedikit putih dan tentu saja tidak memiliki tompel dan bukan seorang
nenek sihir karena ia seorang laki-laki. Ia tersenyum ramah melihat Ana. Ana
tidak membalas senyumnya tapi ia bersembunyi di balik tubuh Ibunya.
“Ana,
sini sayang”, Ibu menarik lengan Ana.
“…”,
Ana hanya tertunduk lemas.
“lihat
Mamah! Kamu ngga boleh nakal ya, kamu harus dengerin apa kata Pak Guru”
“tapi
mah …”
“yaudah,
Pak Guru saya titip Ana ya”, Mamah tersenyum pada Pak Suyono. Ibu tidak bisa
menemani hari pertama Ana sekolah karena hari itu Ibu harus membereskan rumah
dan barang-barang mereka, karena mereka baru saja tiba kemarin pagi dan kemarin
Ibu belum sempat memberreskan semua barang-barang karena harus menGurusi Ana
yang akan masuk sekolah.
“ia
bu, ayo Ana”, Pak Suyono membalas senyum Ibu dan mengajak Ana untuk masuk
kedalam kelas. Di kelas, Ana duduk sebangku dengan Arina. Arina lebih tua dari
Ana satu tahun. Tubuhnya lebih tinggi dan kelihatannya Arina lebih tegar dan
ceria bila dibandingkan dengan Ana.
“aku
Arina”, Arina memperkenalkan diri. Ana hanya terdiam dan menatap Arina.
“nama
kamu teh siapa?”, Tanya Arina.
“Ana”,
jawab Ana singkat, Ana membendung air matanya. Ia hanya tertunduk, ia
benar-benar takut. Ia ingin pulang.
“kamu
kenapa?”, Arina kembali bertanya. Ia merasa ada yang aneh dengan Ana.
“Ana,
mau pulang”, suara Ana terdengar lirih. Ia menutup matanya dan tanpa sengaja
air matanya berjatuhan. Ia tertunduk dan terus menangis.
“aduh,
Ana kamu teh kenapa? Sakit?”, Arina terlihat panik. Ia mungkin terlihat lebih
tegar dari Ana tapi ia tetap saja gadis kecil yang berusia 7 tahun dan ia tidak
tahu harus berbuat apa melihat teman sebangkunya tiba-tiba menangis
tersedu-sedu.
“Pak
Guru!”, Arina berteriak.
“kenapa
Arina?”, Pak Guru menjawab.
“Pak
Guru, ieu Ana teh nangis, saya ga tau kenapa, saya teh tadi cuma
nanya namanya siapa”, jelas Arina panik.
“ia
Arina, Ana kamu kenapa?”, Tanya Pak Guru. Ana hanya terdiam dia takut pada Pak
Guru.
“Ana
kenapa Pak?”, Tanya seseorang Anak laki-laki yang berkulit sawo matang dan
berambut keriting, yang tiba-tiba ada di samping Pak Guru.
“kamu
siapa?”, Pak Guru balik bertanya.
“oh,
maaf Pak saya masuk ngga permisi, saya teh Asep, sepupunya Ana, saya kelas 5
Pak”, terang Asep dengan logat sunda yang cukup kental.
“oh,
terus kamu kenapa ada di sini?”, Pak Guru kembali bertanya.
“saya
teh dari tadi ngintip dari jendela Pak, saya dititipin Ana sama Ibunya, saya
disuruh jagain Ana sampai bel masuk Pak”, Jelas Asep.
“oh,
iaia”, Pak Guru mengangguk tanda mengerti.
“Ana,
kamu teh kenapa? Ieu a’Asep Ana”, Asep membujuk Ana yang dari tadi melipat
kedua tangannya di atas meja dan menundukan kepalanya di atas tangannya. Ia
menangis tersedu-sedu.
“a’Asep”,
Ana mengangkat kepalanya yang dari tadi menunduk.
“ia
Ana …”, belum selesai Asep bertanya, Ana memotong.
“a’Asep
anterin Ana pulang, Ana mau pulang, Ana ngga mau sekolah”, Ana terus merengek
minta pulang pada Asep. Asep hanya terdiam dan memandang Pak Guru. Matanya
seolah bertanya, apa yang harus ia lakukan. APakah ia harus mengikuti keinginan
Ana atau ia harus membujuk Ana untuk tetap tinggal di sekolah.
“yaudah,
Asep kamu anterin Ana pulang ya”, suara Pak Guru menjawab pertanyaan mata Asep.
“tapi
Pak, bel masuk lima menit lagi nanti saya …”
“kamu
tenang aja Asep, nanti saya yang minta izin untuk kamu, nanti saya yang bicara
sama wali kelas kamu, wali kelas kamu Pak Tono kan?”, Pak Guru memotong suara
Asep.
“ia
Pak, nuhunnya Pak terima kasih”, Asep tersenyum.
“sama
aja Asep”, Pak Guru tersenyum.
“hayu
atuh Pak, saya pamit”, pamit Asep.
“Ana
cepet ambil tas kamu, katanya mau pulang”
“wasalamualaikum,
Pak”, Asep mencium tangan Pak Guru, diikuti oleh Ana.
“walaikumsalam,
hati-hati di jalannya”, teriak Pak Guru.
J J J
Sesampainya
di rumah, Asep hanya melihat Ayah Ana, Asep tidak melihat Ibunya Ana. Mungkin
Ibu sedang mencuci baju di sungai atau sedang mandi di dalam. Ya entahlah
karena yang terlihat pada saat itu hanya Ayah Ana. Itu yang ada di pikiran
Asep.
“assalamualaikum”,
teriak Asep.
“walaikumsalam,
loh? Kok Ana sama Asep udah pulang?”, Tanya Ayah Ana heran.
“mang
Darma, tadi teh di sekolah Ana nangis minta pulang, terus kata Pak Gurunya teh
yaudah ngga apa-apa pulang aja dari pada nangis”, terang Asep pada Ayah Ana.
“masa
sih? Ana nangis?”, Ayah menggendong Ana.
“yaudah
mang, Asep mau balik lagi ya ke sekolah, wasalamualaikum”, Asep berteriak
sambil berlari, ia tergesa-gesa karena ia takut ketinggalan pelajaran.
“loh?
loh? Walaikumsalam, makasih ya sep”, Ayah Ana berteriak. Entah Asep mendengar
atau tidak karena sosoknya sudah mulai tak terlihat. Ia berlari cepat sekali.
“Ana,
kita main aja yuk!”, ajak Ayah kepada Ana.
“main
apa pah?”, Tanya Ana polos.
“emhh,
apa ya, liat aja nanti, yuk!”, Ayah menarik tangan Ana. Ana hanya menurut, ia
lega sekali karena telah terbebas dari sekolah dan Pak Guru untuk hari ini.
J J J
Ana dan
Ayahnya sampai di sebuah tempat yang luas dan hijau, sepertinya Ana tau ini
tempat apa. Sawah, ya sawah yang sepertinya baru di Tanami bibit oleh
pemiliknya.
“papa
kita mau ngapain di sawah? Emang papa bisa nanem padi?”, Tanya Ana polos.
“haha
emang siapa yang mau nanem padi”, Ayah tertawa. Ana hanya terdiam heran sambil
melihat Ayah.
“nih,
liat papa bawa apa?”, Ayah memperlihatkan sebuah layangan pada Ana.
“layangan?”,
Ana berpikir
“ia
layangan”, Ayah menegaskan.
“oh,
yee kita main layangan di sini ya pa, asik haha”, Ana tertawa senang sekali.
Ayah hanya tersenyum dan ia mulai menaikan layangan. Mereka benar-benar bermain
layangan di sebuah sawah. Ana baru pertama kali bermain di sawah, ia merasa
senang sekali, belum lagi sekarang ia tidak harus duduk di sekolah. Angin
bertiup kencang, layangan terbang semakin tinggi. Ana dan Ayah sangat menikmati
angin yang berhembus di tengah-tengah sawah. Layangan terbang semakin tinggi,
haripun semakin senja. Ayah menurunkan layangannya. Ana dan Ayah pulang dengan
hati gembira, setelah pulang kerumah mereka pergi mandi, setelah mandi Ana
langsung tertidur lelap. Ia lelah bermain seharian.
Sedangkan
di sisi lain rumah, Uwa Narto, kakak dari Ibu Ana sedang marah-marah. Ia marah
karena sawahnya yang baru saja di tanami padi berantakan, ada orang yang
menginjak-injak sawahnya, ia geram sekali.
“saha
si nu ngarusak sawah, ih lamun katangkeup ek di piteskeun”, geram Uwa Narto.
Ibu kasihan melihat Uwa Narto. Mendengar kata sawah Ibu teringat
sesuatu.
“oia,
tadikan papa sama Ana main di sawah, mungkin ajakan mereka ngeliat orang yang
ngerusakin sawah a’Narto”, pikir Ibu. Ibu segera pergi ke kamar dan bertanya
pada Ayah.
“papa,
papa tadi siang main di sawahkan sama Ana sampe sore?”, Tanya Ibu.
“ia,
kenapa?”
“sawahnya
a’Narto ada yang ngerusak, papa liat ngga orangnya waktu lagi di sawah?”
“ya
ampun, kasian banget mah, emang sawahnya yang sebelah mana?”
“itu
loh yang deket kebun pisang, yang deket sungai”
“hah?”
“kenapa
pah? Papa tau orangnya?”
“tau
mah”, jawab papa lemas.
“siapa
pa? biar Mamah kasih tau Uwa Narto, biar di omelin tuh orang”, Mamah semangat.
“tadikan
papa main layangan di sawah yang deket kebun pisang itu, terus papa sama Anakan
lagi asik main layangan, ya kita udah ngga liat lagi apa yang kita injek, terus
papa juga ngga tau kalo itu sawahnya a’Narto, jangan kasih atau a’Narto ya
mah”, jawab papa lemas.
“hah?
Ya ampun papa, udah si Ana ga mau sekolah, sama papanya malah di ajak
nginjek-injek sawah orang”, Ibu pusing. Itu merupakan pengalaman Ana yang luar
biasa, di hari pertamanya bersekolah ia telah mampu membuat beberapa orang
pusing sekaligus.
Ke
esokkan harinya dan hari-hari selanjutnya Ana telah terbiasa dengan sekolahnya,
ia merasa mulai nyaman dan tidak takut lagi, nenek sihir yang ada dalam
benaknya lama-kelamaan memudar seiring dengan banyaknya teman yang ia dapat di
sekolah. Ternyata sekolah tidak selamanya belajar dan tidak selalu bermain.
Setidaknya di sekolah ini Ana mendapatkan banyak orang-orang baru dengan cara
bicara dan pribadi yang cukup berbeda dengan teman-temannya yang ada di kota,
Ana mulai belajar berbahasa sunda dan ia mulai mengerti bila orang berbicara
dengan bahasa sunda walaupun ia belum bisa berbicara dengan bahasa sunda, ya
setidaknya Ana sudah mengerti dan dapat berkomunikasi dengan baik.
Hari
itu kelas Ana terlihat sepi, Anak-Anak kelas satu yang biasanya heboh dan
selalu berlari-larian kesana-kemaripun terlihat duduk dengan rapi di bangkunya
masing-masing. Apa yang terjadi? Yang terjadi adalah hari itu mereka semua
sedang menghadapi ulangan harian mereka yang pertama. Ana duduk di bangku
ketiga yang terletak di samping jendela, di sampingnya terlihat Arina yang
sedang kebingungan menjawab soal, sementara Ana sepertinya lancar-lancar saja.
Di meja sebelah Arina dan Ana duduk, ada seorang Ana laki-laki yang sedang asik
mengerjakan soal sambil memegangi sapu tangan dan sesekali ia mengelap ingus
yang keluar dari hidungnya dengan menggunakan sapu tangan yang ada di tangan
kirinya. Sesekali Ana menoleh kearahnya karena ia merasa terganggu dengan suara
ingus yang ia keluarkan dari hidungnya.
“srooot,
sroot”, Anak laki-laki itu mengeluarkan ingusnya. Ana menoleh ke arahnya dan
beberapa Anak ada juga yang menoleh dan kemudian mengerjakan soal lagi. Ana
terus memperhatikan Anak laki-laki itu, Ana heran dan ia baru sadar Anak
laki-laki itu setiap hari selalu membawa sapu tangan unuk ingusnya. Ketika Ana
sedang asik memperhatikannya, Anak laki-laki itu menoleh kearahnya dan
tersenyum dengan ingusnya yang meler, Ana kaget ia pun membalas senyumnya
dengan aneh, kemudian saat Ana sedang tersenyum aneh, Anak laki-laki itu tanpa
sadar mengelap ingusnya ke samping dengan menggunakan tangannya
sendiri sehingga ingusnya menyebar sampai ke pipinya. Ana langsung terdiam dan
kembali mengerjakan soal-soal. Di bangku depan baris ketiga dari jendela
terlihat dua Anak kembar yang saling mencontek dan berdiskusi.
“galang!
galuh!”, tegur Pak Guru kepada kedua Anak itu. Kedua Anak itupun langsung
terdiam dan kembali mengerkajakan soal. Ketika Pak Guru sedang memperhatikan
kedua Anak itu, Arina mencoba mencuri kesempatan. Ia melirik lembar jawaban
Ana. Ia mencoba mencontek Ana. Ana yang sedang di contek kemudian sadar dan
berteriak.
“Pak
Guru! Arina nyontek tuh”, teriak Ana pada Pak Guru. Dengan spontan seluruh mata
yang ada di ruangan itu tertuju pada Ana. Mereka semua melihat Ana dengan
tatapan aneh.
“Arina
kamu tidak boleh nyontek ya”, Pak Guru menengahi semua tatapan mata itu.
Mendengar kata-kata yang di ucapkan Pak Guru, tatapan mata-mata itu
malah bertambah aneh dan Ana berpikir, memang ada yang salah ya dengan dirinya,
sepertinya ia baik-baik saja, ia tidak mencontek malah ia yang di contek dan
menurut Ana yang harus di perhatikan adalah Arina, Ana juga tidak ingusan
seperti Anak laki-laki yang ada di sebelahnya. Melihat tatapan itu Ana hanya
terdiam. Tiba-tiba dari samping Arina berbisik.
“Ana
nyontek teh apa? Makanan ya?”, Tanya Arina polos. Ana hanya menoleh dan tak
menjawab.
“astaga,
ternyata tadi yang ngerti bahasa gua Cuma Pak Guru doang, pantesan aja,
hemhh..”, Ana mengumpat dalam hati dan wajahnya berubah menjadi asam. Sementara
Arina yang menunggu jawaban Ana hanya menatap Ana dengan penuh tanya.
J J J
“teeeeeet
teeeeeeeet”, bel pulang berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Ada
yang berlari-lari, ada yang kejar-kejaran, ada yang sedang asik mengobrol dan
ada pula yang sedang sibuk jajan. Di depan pintu kelas satu, terlihat Anak
perempuan yang bertubuh kecil berjalan lesu. Ia berpikir ‘nyontek’, masa
nyontek aja ngga ngerti sih. Ia berpikir lagi, jangan-jangan nyontek ada bahasa
sundanya, tapi apa yaa bahasa sundanya nyontek, ia terus berpikir, oia tanya
bibi aja, bibi pasti bibi tau. Anak perempuan itu kemudian bergegas pulang
sambil berpikir mengenai kata ‘nyontek’.
“Anaaa…”,
teriak seorang Anak laki-laki dari belakang. Ana menghentikan langkahnya dan
menoleh kebelakang.
“Ana,
kamu teh kalo jalan jangan buru-buru atuh”, Anak laki-laki itu mengatur
nafasnya setelah berlari. Ana hanya memperhatikannya dan tidak mengeluarkan
sepatah katapun.
“oia
lupa, Viki”, Anak laki-laki itu tersenyum dan menjulurkan tangannya.
“Ana,
kenapa?”, Ana membalas juluran tangan Viki dan menjabatnya.
“emhh
ngga, kamu ngga di jemput?”, Tanya Viki sambil mengelap ingusnya. Viki adalah
Anak laki-laki yang di perhatikan Ana tadi di kelas, yang setiap hari selalu
membawa sapu tangan untuk ingusnya.
“ngga”,
Ana menggelengkan kepala.
“sama
dong, aku juga ngga, kamu teh rumahnya di sebelah mana?”
“di
deket masjid, terus masuk gang, lurus, belok kanan,lurus, nanti ada gang lagi
belok kiri, terus lurus lagi, rumah Ana di ujung, kalo mau ke sungai pasti
lewat rumah Ana”, Ana menjelaskan panjang lebar .
“oh,
kalo rumah aku di depan masjid”
“oh,
deket dong, yaudah pulang yuk!”, ajak Ana. Ia ingin segera tiba di rumah dan
bertemu dengan bibinya untuk membahas mengenai kata ‘nyontek’. Ana kemudian
berjalan dengan cepat. Viki yang tertinggal di belakang segera menyusul Ana.
“Ana,
kamu teh kenapa sih?”
“hah?
Ngga apa-apa”
“tapi
kamu kok jalannya buru-buru pisan sih, sambil bengong kitu”
“oh,
ngga lagi mikir aja”
“mikir
naon?”, Viki penasaran.
“bahasa
sundanya nyontek, apa yaa?”
“nurun”,
jawab Viki singkat
“hah?
Turun kemana?”, Ana bingung.
“siapa
nu ngomong turun, tadi teh kamu nanya apa bahasa sundana nyontek, bahasa
sundana ‘nyontek’ teh ‘nurun’ Ana”, jelas Viki.
“nurun?
Ohh nurun itu nyontek?”
“ia”,
jawab viki singkat.
“sebentar
kok viki tau? Berarti tadi viki ngerti waktu ana teriak di kelas?”, Tanya ana
penasaraan.
“ngerti”
“kalo
temen-temen yang lain ngerti ngga?”
“ngga
tau”
“oia,
kenapa waktu ana teriak nyontek, si arina malah Tanya, nyontek apa? Makanan ya?
Gitu vik”, ana mengadu.
“oh,
mungkin si arina mikirnya teh nyontek itu ‘lotek’ ana”
“lotek?
Apaan tuh?”, Tanya ana merasa asing dengan kata itu.
“lotek
itu makanan, emhh kalo di Jakarta itu apa ya, emhh oia gado-gado”, jelas viki.
Viki tahu ana itu anak pindahan dari Jakarta, ana baru pindah ke sini beberapa
bulan yang lalu. Viki tau ana pindahan dari Jakarta karena terlihat dari cara
bicaranya yang tidak berlogat dan kaku dalam berbahasa sunda. Kadang ana lebih
suka diam.
“hah?”,
ana kaget. Ia membayangkan dirinya di kelas berteriak ‘pak arina gado-gado
tuh’. Astaga pasti aneh sekali, pantas saja teman-temannya menatapnya dengan
tatapan aneh penuh Tanya dan arina tidak merasa bersalah atau malu sama sekali
setelah ana berteriak nyontek, karena di mata teman-temannya arina tidak salah
dan yang salah adalah ana yang menyebut arina nyontek = lotek = gado-gado.
Astaga, ana merasa malu dan bodoh sekali.
“hei,
ana”, viki berjalan mundur di depan ana dengan kedua tangan di belakang
kepalanya.
“hah?
Eh viki, awas!”, ana berteriak.
“bruuuuk!”,
viki terjatuh.
“aww”,
viki merintih. Kakinya menginjak batu kerikil yang cukup besar sehingga ia
tergelincir.
“viki
sih jalannya mundur-mundur”, omel ana sambil membantu viki bangun dengan
menarik tangannnya.
“kamu
sih teriaknya telat”, sindir viki sambil menepuk-nepuk celananya untuk
membersihkan tanah yang menempel, kemudian tersenyum kepada ana.
“loh?
Haha”
“haha”,
mereka tertawa bersama.
“ana
itu rumah aku, aku pulang duluan ya”, viki menujuk sebuah rumah di depan
masjid, kemudian ia berlari dan melambaikan tangan ke arah ana. Ana
membalas lambaian tangan viki dan tersenyum. Dari masjid ana
berjalan sendirian. Ia berajalan sambil menendang-nendang kerikil-kerikil kecil
yang ada di sekitarnya. Ketika ana sedang menendang-nendang kerikil, ada dua
orang anak kembar yang jalan melewati ana, salah satu diantara mereka tersenyum
aneh ketika melihat ana, kemudian ia tertawa. Ia terlihat seperti sedang
membicarakan ana. Kemudian si kembar yang dari tadi melihat ke depan menoleh ke
arah ana, ia tersenyum sebentar dan kembali melihat ke depan. Ana hanya diam
saja, ia bingung anak itu mentertawakan apa, apa ada yang salah dengan
pakaiannya atau ingusnya meler, tapi tidak, lalu anak kembar itu mentertawakan
apa, ana bingung. Salah satu dari si kembar itu terus tertawa-tawa kecil bila
melihat ana. Ana makin kesal, oia dia teringat sesuatu, kedua anak kembar
itukan teman sekelasnya yang tadi di tegur pak guru karena nyontek.
“huh,
dasar anak nakal yang kurang kerjaan”, umpat ana dalam hati. Ketika ana sedang
asik mengumpat, ke dua anak kembar itu masuk ke sebuah rumah di depan gang
rumahnya ana.
“oh
di situ rumahnya, nanti Tanya bibi ah, si kembar jelek itu siapa”, ana kesal.
Ana melanjutkan langkahnya.
J J J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar