Senin, 14 Mei 2012

Keysia part 1


keysia, itu adalah nama yang diberikan oleh Mamah dan Papa saat aku lahir ke dunia ini, menatap orang-orang dan mulai merasakan kasih sayang dari kedua orangtuaku. Aku dilahirkan pada tanggal 15 September 1993, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Sebelum aku mempunyai adik, aku terlahir sendirian dan selalu merasa kesepian, aku selalu ingin punya teman, karena aku terlalu lama sendirian sehingga aku menjadi anak yang manja. Tiga tahun kemudian kesepianku berlalu, aku diberi adik oleh Mamah dan Papa, aku sangat senang karena aku pikir rasa kesepian itu akan segera pergi dari hidupku dan hidupku akan berubah menjadi bahagia untuk selamanya. Saat-saat itu tidak akan aku lupakan karena pada saat itu aku merasa  kesepian akan pergi dari hidupku dan perjalananku sebagai kakak akan segera di mulai..

            Joe Angga itu adalah nama yang diberikan Mamah untuk dia karena menurut Mamah dan keluarga besarku dia adalah anak laki-laki yang tampan dan nama itu sangat cocok untuknya. Dua tahun semenjak Joe lahir hidupku  benar-benar terasa indah dan bahagia, kemudian Papapun memiliki usaha baru, sebuah toko di sebuah pasar, toko yang sederhana, bagian depan terdapat dinding yang terbuat dari kayu dan bagian bawah yang hanya beralaskan semen dan tak berubin, toko itu terlihat sangat sederhana mungkin aku tidak mau masuk kesana bila toko itu bukan milik Papaku, mungkin aku juga tidak akan mau pergi ke sana bila tidak dipaksa Papaku.

            Dari kejauhan aku melihat wanita muda, tidak terlalu cantik tapi ramah, siapa dia ya ? dia ada di dalam toko Papa ku, dia merapikan semua barang-barang yang ada, membersihkan semuanya dan merapikan toko, persis seperti apa yang aku lihat di rumah saat Mamahku menyiapkan semua kebutuhan keluarga, hanya beda konteksnya. Mamah melakukan semuanya di rumah demi kepentingan anak-anaknya, sedangkan wanita ini, apa yang dia lakukan di toko Papaku ?  Sayangnya saat itu aku hanya seorang anak kecil yang berusia 9 tahun, aku tidak pernah berpikir lebih jauh, dia itu siapa dan kenapa setiap hari dia ada di toko Papa dan melayani semua kebutuhan Papa. Aku sebagai anak yang berusia 9 tahun hanya tahu bahwa dia itu seorang pelayan Papa yang tidak punya rumah, karena itu dia tidur di toko dan setiap hari ada di toko untuk membantu  Papa menyiapkan semua keperluan toko.

            “Key, ya ?”, sapa wanita itu.

            “iya, Mba siapa ?”, Tanyaku heran.

            “aku yang bantuin bapa disini”, kata wanita itu sambil tersenyum ramah kepada ku tapi aku hanya menjawab dengan kata “oh”, tidak memperdulikannya dan pergi masuk kedalam toko. Beberapa saat setelah aku masuk toko, Papaku masuk dan berbicara sesuatu kepadaku mengenai wanita itu.

            “Key, Key ga boleh kaya gitu sama Mba Bela, Mba Bela itu orangnya baik dan dia juga suka bantuin Papa di toko, lagi pula dia itu sudah ga punya keluarga, dia itu sendirian dan ga punya rumah, makanya Key harus baik-baik sama dia karena dia udah ga punya siapa-siapa di sini, Key harus bersyukur, Key masih punya Mamah dan Papa sedangkan Mba Bela sudah ga punya orang tua”

            “ia pah, maafin Key ya”

            “ia, tapi Key juga ga boleh bilang sama Mamah kalo di toko ada Mba Bela soalnya kalo Mamah tau, pasti Mba Bela ga boleh tinggal di sini sama Mamah, kan kasian Mba Belanya nanti kalo disuruh pergi sama Mamah, nanti dia mau tinggal dimana dan sama siapa, Papa mau bantu Mba Bela, Key mau bantu Mba Bela ga? biar Mba Bela bisa tinggal disini, ga tinggal di jalanan, kedinginan dan kesepian”, papa mencoba meyakinkanku.

            “ia pah, Key mau bantuin Mba Bela, Key kasian sama Mba Bela”, jawabku dengan nada rendah dan rasa bersalah yang begitu besar kepada Mba Bela.

 saat itu aku bagaikan anak bodoh yang mengasihani orang yang salah, aku kasian kepada wanita itu karena aku pikir dia memang benar-benar sendirian dan kesepian, itu merupakan pikiran murni dari seorang anak kecil yang berusia 9 tahun.

Sejak kejadian itu aku jadi lebih dekat dengan Mba Bela, sampai suatu hari aku mulai curiga akan sesuatu. Pada saat itu aku dan Mba Bela sedang membeli sarapan di warung nasi uduk.

“Key, ini siapa ?”, Tanya seorang pedagang yang sedang makan di warung nasi uduk.

“Mba Bela, pak”, aku merasa heran dengan pertanyaannya, Mba Bela setiap hari ada di toko, mana mungkin ia tidak mangenalnya.

“oh, kirain Mamah kamu Key”, jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.

Mungkin dia pikir itu lucu, tapi tidak menurutku, apa maksudnya mengira Mba Bela sebagai Mamahku, aku mungkin dekat dengan Mba Bela tapi dia bukan siapa-siapa apalagi Mamahku, aku mungkin hanya seorang anak kecil tapi aku memiliki otak untuk berfikir dan mempertanyakan sesuatu, pasti ada yang salah dengan hadirnya Mba Bela di kehidupanku dan keluargaku. Otakku sudah mulai berpikir akan adanya sesuatu yang salah pada Mba Bela, diriku sudah mulai menyadari semuanya tapi tidak dengan keberanianku untuk mengatakan kepada Mamah tentang adanya orang asing yang hadir dalam hidupku, yang tidak menggangguku tapi membuatku sulit untuk melakukan sesuatu, aku terjebak dalam jurang yang tidak berbahaya untukku saat ini tapi jurang ini akan membunuhku secara perlahan tapi aku tidak tahu bagaimana caranya aku keluar dari sini, aku sadar dan mengerti tapi diriku terasa beku saat melihat Papa, hatiku iba saat melihat wanita itu tapi hatiku perih bila sadar bahwa semua ini akan menyakiti hati Mamah. 
               
               Aku tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku memutuskan untuk menjauhi Mba Bela, untuk pergi dari hidupnya walaupun aku tahu dia tidak akan pergi dari hidup Papaku, tapi hanya ini yang bisa ku lakukan aku sudah terlanjur berjanji pada Papaku untuk membantu wanita itu, aku iba melihat wanita itu walaupun sebenarnya aku membecinya, aku takut akan sesuatu tapi saat itu aku tidak mengerti banyak tentang perceraian dan perpisahan yang aku tahu hanya kesedihan saat seseorang yang kita sayang membohongi kita mengenai sesuatu, seperti yang di lakukan Papaku kepada Mamah. Akhirnya, aku tidak pernah mau lagi ikut ke toko apapun keadaannya, karena dengan pergi ke toko, aku merasa memasuki suatu ruangan yang tak beroksigen sehingga dadaku sesak, hatiku sakit, tak berdaya, diriku seperti ingin mencair dan menghilang dari bumi agar aku tidak perlu memihak kepada siapapun karena sebenarnya aku tidak tahu apa hal yang paling baik untuk di lakukan, aku ingin sekali menolong wanita itu tapi tidak bisa dengan hatiku, rasanya sungguh sakit, dadaku seperti terbakar bila aku melihat senyum wanita itu.
            
           Beberapa bulan kemudian Papa dan mamaku sudah tidak seperti dulu lagi, mungkin mereka dan aku tinggal dalam rumah yang sama dan satu atap tapi kurasa tidak dengan hati merreka, hati mereka berjauhan , aku tidak tahu dimana dan andai saja aku bisa menemukannya dan mengembalikannya kepada Mamah dan Papa. Mereka sering bertengkar , mungkin sebernarnya aku tahu apa yang terjadi tapi ketidakpedulianku, keegoisan serta kebodohan masa kecilku membuat diriku tersiksa, aku bisa saja menceritakan semuanya kapada Mamah tapi aku terlalu takut mareka berpisah, apa yang bisa aku harapkan dari sebuah pepisahan, tidak ada hanya kesedihan. Egoku semakin meluap, karena ketakutanku akan kesedihan aku mengabaikan perasaan Mamah, karena saat itu aku berpikir bila kita bersama maka kita akan bahagia apapun keadaannya.

 Aku sering melihat Mamah menangis tapi aku hanya bisa  diam membisu, diam seribu bahasa, hatiku seperti di bakar rasanya sakit sekali saat melihat Mamah menangis tapi aku tidak bisa membongkar rahasia yang telah aku buat dengan Papa karena aku takut Papa melakukan sesuatu dan pergi bila aku mengungkap semuanya. Saat itu juga aku adalah anak dengan prikemanusiaan yang besar yang tidak ingin membuat seseorang tinggal di jalanan sementara keluargaku bahagia dengan segala kecukupan yang menurutku lebih bahkan masih dapat di bagikan kepada orang lain, karena rasa iba itu dan karena aku ingin berbagi sesuatu yang sebenarnya tidak bisa di bagi sedikit demi sedikit kebahagiaan keluargaku benar-benar terbagi bahkan hampir tidak ada sisa kebahagiaan yang ku dapat karena kebaikanku, mungkin dapat di sebut juga dengan kebodohan. Kebodohanku, menyakinkan diriku bahwa yang membuat Mamah dan Papaku sekarang menjadi seperti ini bukan rahasia yang aku simpan dengan Papa, aku selalu membela diri dan meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah, aku hanya iba kepada wanita itu, aku hanya ingin mencoba menjadi anak baik dan menjaga rahasia.

Beberapa bulan kemudian ada seseorang yang datang ke rumahku untuk mencari istri dari Papa tapi bukan Mamahku, orang itu bilang namanya Bela bukan Ranti. Aku kaget, terlebih lagi Mamahku, aku kenal orang yang namanya Bela tapi itu bukan Mamahku, dia Cuma pelayan di toko Papa, itu yang aku tau. Pasti orang ini salah tapi sejak kejadian itu Mamahku mulai sering pergi ke toko dan herannya wanita itu tidak ada disana, kemudian aku berpikir ternyata benar bukan dia yang menyebabkan kebahagiaan di dalam  keluargaku menjadi potongan-potongan kecil yang sulit di satukan, bukan dia, dia hanya orang yang ingin hidup lebih baik dan Papaku ingin membantunya, mungkin hidupnya sekarang lebih baik dan pergi dari toko Papaku untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, pikiran-pikiran positif itu mengalir begitu saja dalam otakku.




Keesokan harinya aku mendengar teman-temanku sedang membicarakan Papaku. Mereka bilang Papa pergi dengan seorang anak kecil yaitu adikku Joe dan seorang wanita tapi bukan Mamah ku. Hah ? siapa ?

“Key, tadi aku lihat Papa kamu lewat di depan rumahku, dia naik motor sama Joe, terus dibelakangnya ada perempuan tapi sepertinya bukan Mamah kamu deh”, cerita putri kepadaku dan teman-teman.

Aku tidak bisa menjawab mungkin lebih tepatnya tidak mau menjawab, lagi-lagi aku hanya bisa terdiam dan membisu, banyak pikiran-pikiran aneh yang melintas pada benak anak kelas II SD. Merasa bodoh, aku sama sekali tidak mau teman-teman memikirkan apa yang aku pikirkan, aku tidak mau teman-temanku mengetahui bahwa kebahaagiaanku pada saat itu sedang menjadi potongan-potongan kecil yang tidak bisa dinikmati. Tapi itu sulit untuk dilakukan karena ternyata wanita yang bersama Papa adalah Mba Bela, sekarang dia tinggal di dekat rumah putri, Papa sering mengujunginya dan mengajak Joe, mungkin sebenarnya teman-teman sudah mengetahui semuanya tapi aku terus menyangkal mengenai Mba Bela, teman-temanku terlalu ingin tahu mengenai keluargaku padahal aku saja tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi pada keluarga mereka, apa kita tidak bisa urus, urusan kita masing-masing, ya kurasa tidak, mereka benar-benar mendesakku untuk mengatakan sesuatu, tapi aku tetap bertahan aku tidak mau membuat Papaku buruk di depan teman-teman  karena bagaimanapun dia adalah Papaku, kemudian aku berbohong.

“iya, aku kenal wanita itu, dia Mba Bela sepupu Papaku, dia tidak punya saudara di sini, dia dari kampung, wajarkan bila Papaku menjenguk sepupunya”, tegasku kepada teman-teman. Mereka semua menganggukan kepala tapi kurasa itu bukan tanda mengerti tapi sebaliknya, mereka terus berbicara mengenai Papa di belakangku, aku mencoba untuk tidak peduli, mudah bagiku untuk tidak peduli kepada mereka tapi mereka bagaikan lalat yang berlalu-lalang di atas kepalaku, aku sungguh ingin pergi dari kelasku, aku ingin melarikan diri dan pergi dari dunia ini tapi tidak bisa, semakin aku berharap agar aku bisa menghilang dan lenyap ditiup angin atau dimakan waktu, hatiku semakin sakit memikirkan apa yang terjadi dan memikirkan  apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Papa.

Sejak saat aku tidak benar-benar mempunyai teman, semua orang yang ada dalam hidupku, yang menyapaku, berbicara denganku, guru-guruku bahkan teman-temanku mereka bagaikan angin yang bertiup dalam hidupku, tidak terasa dan kurasa aku benar-benar tidak peduli dengan mereka semua, mungkin aku berada ditengah keramaian tapi aku selalu merasa sendirian, mungkin itu yang namanya kesepian. Di saat ada banyak orang di sekeliling kita, disaat kita berbaur dengan semuanya tapi hati kita tidak ada di sana, tidak ada di dalam keramaian itu, tidak berbaur dengan kebahagiaan yang mereka buat, hati kita ada di tempat yang dingin dan sulit dijangkau, jauh dan jauh bahkan seperti hilang entah dimana dan sekarang aku adalah anak kecil yang kehilangan hatinya dan merasa sendirian, selalu kesepian.

Suatu hari Mamah seperti biasa pergi ke toko, tapi saat itu ada sesuatu yang beda karena disana Mamah menemukan Papa dengan Mba Bela, dengan spontan Mamah berteriak-teriak kepada Mba Bela, bahkan ia ingin memukulnya tapi di tahan oleh Papa, aku bingung harus berbuat apa, aku berharap ini hanya sebagian dari syuting sinetron yang biasa Mamah lihat di televisi, aku berharap ada seorang sutradara yang akan datang kemudian menghentikan adegan ini karena acting Mamahku sungguh bagus dan luar biasa bahkan seperti kenyataan. Aku terbangun dari alam khayalku dan sadar bahwa ini adalah kenyataan, seperti biasa aku hanya terdiam, aku sulit bernafas, dadaku sesak seperti ada seseorang yang menusuk-nusuk dadaku, aku sungguh malu melihat kejadian ini, aku merasa hancur, seperti di lempar dari gedung tertinggi di bumi ini, aku sedih tapi tidak bisa menangis mungkin air mataku pun sudah kering dan tidak bisa keluar karena rasa sakit di dadaku semakin perih, seperti luka yang di siram oleh alcohol, perih sekali.
Wanita itu di pisahkan dari Mamah dan di bawa oleh seseorang dari pasar.

“udah-udah, ayo, emang lu yang salah”, bentak orang itu kepada Mba Bela.

Ku lihat Mba Bela hanya terdiam dan pasrah di bawa orang itu, bahkan saat Mamah ingin memukulnya ia tidak melawan sama sekali, hanya bisa terdiam seperti diriku saat ini. Melihat Mamah dan Papa bertengkar di tengah keramaian orang yang berlalu-lalang bahkan diantara mereka ada yang ingin mengetahui apa yang sedang terjadi diantara kami, aku ingin sekali berkata kepada mereka yang penasaran bahwa kami ini sedang syuting sinetron terbaru yang sebentar lagi akan di tayangkan di salah satu station televisi, tapi aku sadar bahwa kami tidak sedang syuting dan ini kenyataan yang menyakitkan. Mereka bertengkar di depan ku dan orang banyak, aku ingin berteriak, menghentikan waktu dan mengajak mereka pulang tapi tubuh ini kaku seakan membeku, tak dapat bergerak, aku harap tubuhku ini bisa hancur dan meninggalkan semuanya.

Mamah menarik tanganku, membangunkanku dari alam khayalku, membuyarkan pikiranku, menghentakkan tubuhku yang beku, mencairkan hatiku yang kaku dan seakan mati rasa.

“ayo Key, kita pulang”, ajak Mamah kepadaku dan meninggalkan Papa sendirian. Aku tidak berkata apapun, lidah ini terasa kelu, sulit untuk di gerakkan, kakiku melangkah mengikuti Mamah, meninggalkan Papa sendirian, ingin sekali aku berteriak dan memanggil Papa dan mengajaknya pulang tapi lidah ini benar-benar tidak bisa di gerakkan seperti mati rasa, aku hanya bisa menatapnya dan kemudian meninggalkannya bersama Mamah.

“Mah, Papa ko belom pulang?”, tanyaku dengan polos kepada Mamah.

“belom, ngga tau, ngapain kamu nanya-nanya Papa?”, jawab Mamah setengah membentak.

“tapi, Papa pasti pulangkan mah?”,  aku benar-benar berharap.

“ngga tau Key, sudah kamu tidur sana ! kamu kan besok harus sekolah”

“ia, mah”, jawabku tanpa gairah dan tanpa semangat hidup.

Itu sungguh bukan jawaban dari sebuah pertanyaan. Itu bukan jawaban yang aku harapkan, aku masuk ke kamarku, aku tidak bisa tidur, aku hanya bisa merenung dan mengingat semua yang telah terjadi, aku sadar ini bukan mimpi. Saat itu air mataku baru bisa keluar, pipiku basah, aku menangis menyesalkan semua yang telah terjadi, aku tidak mau Mamah sampai tahu bahwa aku menangis, aku tidak mau menambah penderitaannya, aku mungkin tidak bisa membantu Mamah tapi setidaknya aku tidak boleh memperlihatkan kesedihanku ini kepada Mamah, aku suka berbagi kebahagiaan tapi aku tidak suka berbagi kesedihan. Aku tenggelam didalam kamarku, air mata yang tadi siang tertahan malam ini mengalir deras bagaikan air terjun Niagara. Malam itu aku terlelap dalam air terjun air mataku sendiri, berharap saat mataku terbuka ini semua tidak pernah terjadi dan hanya sebuah mimpi buruk.


Mataku terbuka sorot lampu kamarku yang menyilaukan membangunkan aku dari tidurku, aku teringat akan sesuatu, aku berlari ke kamar Mamah dan Papa, di sana aku tidak menemukan siapapun, aku berlari keluar tapi hanya mentari pagi yang menyapaku dan orang yang berlalu-lalang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, di mana Papa ? hatiku penuh Tanya, aku pergi kebelakang hanya ada Mamah yang sedang masak dan Joe yang sedang bermain. Di mana Papa ? ternyata aku tidak bermimpi, ini semua kenyataan , ini terjadi, dan Papaku tidak pulang ke rumah, dimana dia ? hatiku merasa kosong. Hari itu aku pergi ke sekolah tanpa semangat sedikitpun, untuk apa aku sekolah bila aku tidak bahagia, aku tidak ingin sekolah, aku ingin Papaku, aku benar-benar menginginkannya. Hari itu selesai shalat aku berdoa kepada Allah.

“ya Allah Key nakal ya ? Key salah ya ? ya Allah maafin Key ya kalo Key nakal, Key janji Key ga akan males belajar, Key janji akan rajin bantuin Mamah, Key janji Key akan jadi anak baik, Key janji ya Allah, Key mau Papa pulang, Key Cuma mau Papa Key, Key ga mau yang lain, Key ga mau game, ga mau boneka, ga mau uang, Key Cuma mau Papa ya Allah, ya Allah jangan biarin Papa Key pergi, Key sayang sama Papa, Key juga tau Allah sayang sama anak baik, Key mau jadi anak baik biar di sayang sama Allah, dan Papa Key bisa pulang lagi, amiiin…….”,  aku benar-benar putus asa dan hanya bisa bercerita kepada Allah karena aku mulai tidak mempercayai semua orang. Lagi-lagi air mataku meleleh tanpa ku sadari.

Beberapa hari kemudian Papaku pulang, aku senang doaku bisa terkabul, sepertinya Mamah juga senang tapi raut wajahnya tidak mencerminkan isi hatinya yang sebenarnya. Aku mungkin tidak mengerti bagaimana rasanya ada di posisi Mamahku tapi aku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan Papa beberapa hari, aku rasa Mamah juga merasakan apa yang aku rasakan. Aku pikir dengan kepulangan Papa semuanya akan kembali normal tapi ternyata hidup ini tidak semudah yang ada pikiranku, mungkin ada hal-hal yang tidak bisa aku pahami dan tidak bisa mereka jelaskan kepadaku, aku coba untuk mengerti, tapi tidak bisa, aku hanya ingin kita seperti dulu tapi kenapa sulit sekali bagi mereka untuk melupakan semua yang telah terjadi. Kehidupan keluargaku dingin sekali, kami tinggal dalam atap yang sama, makan bersama tapi kami semua merasa kesepian karena hatiku, Mamah dan Papa terpisah jauh, aku ingin sekali mencarinya dan meletakannya di tempat semula tapi bagaimana caranya, aku hanya anak kecil yang berusia 9 tahun dan ingin mencari kebahagiaan.

Hari-hari yang menyedihkan ini terus berlanjut, sampai suatu malam aku melihat Mba Bela di depan rumahku, dia mencari Papa, sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu yang penting tapi aku tidak tahu apa itu, belum sempat ia bertemu Papa Mamah keluar dan mengusirnya, tak lama setelah Mamah berteriak-teriak Papa keluar dan melerai mereka berdua, lagi-lagi aku merasa seperti artis, keluargaku di tonton banyak orang, orang-orang yang tidak punya kegiatan lain selain mengurusi urusan orang lain, mengapa mereka begitu peduli pada hidupku dan keluargaku. Ingin sekali aku mengcut semua adegan ini, andai saja aku ini bukan seorang anak kecil, andai saja aku ini adalah seorang sutradara yang sedang mengamati syuting Mamah dan Papa, akan ku berikan semua jempolku untuk mereka karena mereka sangat menjiwai peran mereka masing-masing. Akhirnya, Papa pergi dengan wanita itu film yang berlangsung di dunia nyata ini berakhir tragis, aku, Mamah dan joe ditinggalkan Papa. Penonton sedikit demi sedikit pergi meninggalkan rumah yang menyedihkan ini. Film yang mereka tonton telah berakhir, mungkin mereka kecewa tapi aku benar-benar tidak peduli pada mereka. Mengapa ini semua terjadi pada saat aku belum bisa memahami hidup ini sepenuhnya. Aku benar-benar ingin terbang bersama burung-burung dan melupakan semuanya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar